Dakwah, Pendidikan, Sosial, Muslimah, Lingkungan, Kesehatan

Jumat, 19 Februari 2016

Tanda Orang Beriman Yang Sebenarnya


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ (3) أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (4


Sesungguhnya orang beriman itu hanyalah mereka yang disebut nama Allah bergetar hatinya, jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya ayat itu membuat iman mereka makin bertambah, dan hanya Kepada Rabb mereka bertawakkal . Yaitu orang yang mendirikan shalat dan menginfakkan sebagian (harta) yang Kami rezkikan kepada mereka. Mereka itulah orang beriman yang hakiki, dan mereka akan memperoleh kedudukan (derajat) yang tinggi di sisi Tuhan mereka, ampunan, serta rezki yang mulia” (terj. Qs. Al-Anfal ayat 2-4).

Iman itu bukan sekadar angan-angan, tapi keyakinan yang tertanam dalam hati dan dibuktikan kebenarannya oleh amal perbuatan (Hasan al-Bashri rahimahullah)
***
Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, iman bukan sekedar keyakinan hati yang diucapkan di bibir. Tapi ia merupakan perpaduan antara keyakinan hati, perkataan lisan, dan perbuatan anggota badan. Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisyaratkan bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman. Dantaranya firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 143; “Sungguh, (Pemindahan qiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyi-nyiakan iman (shalat)mu. (terj. Qs. Al-Baqarah:143). Makna iman dalam kalimat “Allah tidak akan menyi-nyiakan imanmu” adalah shalat kalian menghadap baitul maqdis sebelum pengalihan qiblat ke Ka’bah. Artinya, dalam ayat di atas dengan tegas amalan shalat disebut oleh Allah sebagai Iman.

Dalam al-Qur’an dan hadits Nabi sering disebutkan ciri orang beriman berupa amal shaleh. Namun tulisan ini hanya akan fokus pada ciri dan sifat orang beriman yang Allah sebutkan dalam surah al-Anfal ayat 2-4. Alasannya adalah karena dalam ayat ini diawali dengan, “Innamal mu’minuunnaldziyna . . . ; Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah mereka yang . . .”. dan dikhiri dengan, “Ulaika humul mu’minuuna haqqan, . . . mereka itulah orang-orang beriman yang sebenarnya”.

Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan lima sifat orang beriman, yakni;

1. Bila disebut nama Allah, hatinya bergetar
Idza dzukirallahu wajilat quluubuhum; Bila disebut (nama, janji, dan ancaman) Allah bergetarlah hati mereka. Inilah sifat pertama orang beriman yang disebutkan oleh Allah dalam ayat ini. Bergetarnya hati mereka menunjukan rasa takut, sikap ta’dzim (pengagungan), dan cinta kepada Allah yang tertanam di hati mereka.

Dan diantara dzikrullah yang dapat menggetarkan hati orang-orang beriman adalah bacaan a-Qur’an. Bahkan tidak ada sesuatu yang paling besar pengaruhnya dalam mengingatkan tentang Allah dan memperingatkan untuk tidak menyelisihi perintah-Nya melebihi al-Qur’an. Karena dalam Al-Qur’an terdapat nama-nama Allah, janji dan ancaman-Nya. Allah Ta’ala sebutkan dalam surah Az- Zumar ayat 23; Allah menurunkan perkataan terbaik (yaitu) Kitab Al-Qur’an yang serupa ayat-ayat-Nya lagi berulang-ulang. Gemetar karena-Nya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya. Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka karena mengingat Allah. (terj. Qs. Az-Zumar :23)
Selain itu getaran hati yang muncul setelah mendengarkan nama Allah tersebut juga melahirkan ketenangan hati. Karena hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang. Sebagamana firman Allah dalam surah Ar-Ra’d ayat 28. Rasa tenang tersebut merupakan cerminan perasaan lapang dada yang ditimbulkan oleh cahaya makrifat dan tauhid. Karena hati yang bergetar ketika mendengar nama, janji, dan ancaman Allah juga melahirkan rasa takut berbuat maksiat serta semangat dan energi gerak melakukan ketaan kepada Allah.

2. Iman Mereka Bertambah bila Mendengar Ayat Allah

Sifat mereka yang kedua adalah, bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka iman mereka bertambah. Yakni keyakinan mereka kepada Allah bertambah mantap, dan bukti dari pertambahan iman tersebut adalah meningkatnya amal shaleh.

Hal ini menunjukan pula bahwa sarana efektif untuk meningakatkan keimanan adalah mendengarkan bacaan al-Qur’an dari orang lain. Karena mendengarkan melalui bacaan orang lain lebih membantu dan mengkondisikan untuk tadabbur (merenungkan kandungan makna) suatu ayat. Sebab saat mendengar, seseorang bisa lebih fokus medengarkan dan memikirkan serta tidak disibukkan fikirannya dengan memikirkan tatacara baca, tajwid, irama lagu, dan sebagainya. Rasulullah sendiri kadang meminta sahabat untuk memperdengarkan bacaan al Qur’an kepada beliau. Seperti beliau pernah meminta kepada ibn Masud radhiyallahu ‘anhu untuk membacakan al-Qur’an kepadanya.

3. Bertawakkal kepada Allah

Tawakkal adalah bertumpu dan bersandar sepenuhnya hanya kepada Allah yang disertai dengan usaha mencari sebab (sarana). Orang beriman hanya bertawakkal kepada Allah. Karena mereka tahu, tawakkal merupakan ibdah dan ibadah hanya ditujukan kepada Allah semata. Tawakkal merupakan tingkatan tauhid tertinggi. Oleh karena itu, ciri mukmin sejati adalah tawajjuh kepada Allah semata dan hanya berdo’a kepada-Nya.

Dalam kalimat wa ‘alaa rabbihim yatawakkalun pada ayat di atas didahulukan penyebutan Allah sebagai objek yang dituju dalam bertawakkal. Hal itu menunjukan dua hal; pertama, Tawakkal hanya ditujukan kepada Allah Rabb (Tuhan) semesta alam. Karen Dialah tumpuan dan dan sandaran satu-satu-Nya bagi setiap makhluq. Kedua, Menunjukan kuatnya tawakkal orang-orang beriman kepada Allah. Mereka hanya bertawakal kepada Allah, serta tidak bertumpu dan bersandar kepada selain-Nya.

4. Menegakkan Shalat

Ini merupakan salah satu sifat orang beriman yang paling sering disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam. Mendirikan atau menegakkan shalat. Bukan sekadar mengerjakan shalat. Karena yang dimaksud dengan iqamatus Shalah (mendirikan/menegakkan shalat) adalah mendirikan shalat dengan memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, sunnah-sunnhnya, dan adab-adabnya.

Selain itu menegakkan shalat juga bermakna menunaikan shalat tersebut pada awal waktunya secara berjama’ah di Masjid dan melaksanakannya dengan khusyu’. Penunaian dan penegakkan shalat secara sempurna dengan menyempurnakan rukun, syarat,wajib, sunnah, dan adabnya serta dilakukan dengan khusyu dan tertib; waktu, cara, dan tempat diharapkan membuahkan hasil mencegah seseornag dari perbuatan keji, mungkar, dan sia-sia.

5. Menginfakkan Sebagian Rezki Yang Mereka Peroleh

Rezki yang dimaksud di sini tidk hanya berupa harta. Tapi termasuk di dalamnya harta, ilmu, kedudukan, dan kesehatan. Orang beriman menginfakkan kesemua itu sebagai bukti iman dan taatnya kepada Allah Ta’ala. Infaq di sini bisa mencakup yang wajib maupun yang sunnah. Karena Ibadah kepada dengan harta (‘ibadah maliyah) memiliki ragam bentuk, seperti zakat, infaq, sedekah, waqaf, hibah, hadiah, dan memberi pinjaman.

Dalam ayat al-Qur’an, ibadah maliyah seperti infaq memiliki kedudukan yang sangat utama. Dalam sebagian ayat diisyaratkan bahwa ibadah maliyah berupa zakat, sedakah, infaq, dan sebagainya merupakan ciri utama orang beriman dan bertakwa yang akan memperoleh kemulian dan pemuliaan dari Allah berupa petunjuk (hudan), rezki, al-falah (keberuntungan), yang akan berujung pada derajat yang tinggi di Surga Firdaus pada hari akhir kelak. Diantara ayat yang menerangkan hal itu adalah Surah Al-Mukminun ayat 1-11 dan Surah Al-Anfal ayat 2-4 di atas.

Bukan Hanya Itu
Ciri dan sifat orang beriman bukan hanya lima poin yang disebutkan di atas. Meski Ayat di atas ditutup dengan penegasan bahwa, “Mereka itulah orang-orang beriman yang sebenar-nya”, namun hal ini bukan untuk membatasi sifat orang beriman pada lima poin itu saja. Tapi karena kelima sifat tersebut mewakili amalan hati yang paling afdhal dan amalan anggota badan yang paling afdhal pula. Sifat-sifat mukminin dalam kelima poin di atas mencakup ibadah qalbiyah (hati), badaniyah (badan), dan maliyah (harta). Bahkan ada amalan yang menggabungkan qalbiyah, qauliyah, dan badaniyah sekaligus seperti ibadah shalat. Wallahu Ta’ala a’lam. (Syamsuddin//Mawasangka, 17-02-2015).

Minggu, 26 Juli 2015

Enam Kewajiban Muslim Terhadap Sesamanya


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ:  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  “حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ: إذَا لَقِيْتــَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاك فَأَجِبْهُ، وَإِذَاسْتَنْصَحَك  فَانْصَحْهُ،  وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشمِّتْهُ، وَ إِذاَ  مَرِضَ  فَعُدْهُ، وَإِذاَ  ماَتَ فاتـْبَعْهُ”.  (رَواهُ مُسلمٌ


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu  ia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Hak seorang Muslim terhadap sesama Muslim ada enam, yaitu:  (1) jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam,  (2) jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, (3) jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat,  (4) jika ia bersin dan mengucapkan: ‘Alhamdulillah’ maka doakanlah  ia, (5) jika ia sakit maka jenguklah dan  (6) jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya”. (HR. Muslim).

Beberapa Pelajaran dari Hadits:
1. Hadits ini merupakan dalil bahwa Islam adalah Agama cinta (mahabbah), kasih sayang (mawaddah) dan persaudaraan (al-ikha’). Karena itu Islam telah meletakkan (mensyariatkan) berbagai sebab untuk mewujudkan tujuan luhur itu, sehingga tidak sepantasnya seorang Muslim mengabaikan hak-hak sesamanya Muslim. Dalam hadits ini diebutkan enam hak Muslim atas Muslim lainnya.  
2. Dianjurkan memulai ucapan salam  saat bertemu, baik kepada yang dikenal maupun yang belum dikenal, serta kewajiban menjawab salam. Karena hal itu termasuk sebab saling cinta dan sayang menyayangi (at-Tahaab wat Tawaadud).
3. Wajib memenuhi undangan walimah. Adapun selain walimah, hukumnya mustahab (sunnah atau dianjurkan).
4. Wajib untuk mengikhlaskan niat dalam menyampaikan nasehat, dan dianjurkan (mustahab) menyampaikan nasehat tanpa diminta.
5. Disyariatkan men-tasymit orang yang bersin jika ia mengucapkan Al-Hamdulillah. Orang yang mendengar men-tasymit-nya dengan mengucapkan Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu). Kemudian orang yang bersin memblasa dengan perkataan Yahdikumullahu wa yushlihu baalakum; semoga Allah memberimu Hidayah dan memperbaiki keadaanmu.
6. Diantara adab bersin; meletakkan telapak tangan ke wajah dan merendahkan suara. Jika bersin berulang-ulang, maka yang mendengar hanya men-tasymit sampai tiga kali dan tidak menambah dari jumlah tersebut. Selain itu orang yang bersin tapi tidak mengucapkan hamdalah, maka dibimbing untuk mengucapkan al-hamdulillah, lalu men-tasymit-nya. Jika yang bersin adalah orang kafir, maka cukup diucapkan kepada mereka Yahdikumullahu wa Yushlihu baalakum.
7. Disyariatkan menjenguk seorang Muslim yang sakit, baik dekat maupun jauh.
8. Wajib melayat dan mengantar/mengiringi jenazah seorang Muslim, baik dikenal maupun tidak.


(Diterjemahkan oleh Syamsuddin Al-Munawiy dari Kitab Tuhfatul Kiram Syarh Bulughil Maram, karya Syekh. DR. Muhammad Luqman As-Salafi hafidzahullah, terbitan Darud Da’i Lin Nasyri Wat Tauzi’ Riyadh Bekerjasama dengan Pusat Studi Islam Al-Allamah Ibn Baz India, halaman: 585-586)





Sabtu, 25 Juli 2015

Fatwa Tentang Puasa Syawal


Puasa Syawal, Wajib atau Sunnah?
Pertanyaan: 

هل يجوز للإنسان أن يختار صيام ستة أيام في شهر شوال ، أم أن صيام هذه الأيام لها وقت معلوم ؟ وهل إذا صامها تكون فرضاً عليه ؟


Bolehkah seseorang memilih-milih hari berpuasa pada bulan Syawal ataukah puasa syawal ini memiliki waktu-waktu (hari-hari) tertentu (ayyam ma’lum)? Apakah jika seseorang berpuasa pada hari-hari itu terhitung sebagai puasa wajib baginya?

Jawaban:

ثبت عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أنه قال : " من صام رمضان ثم أتبعه ستًّا من شوال كان كصيام الدهر " خرجه الإمام مسلم في الصحيح ، وهذه الأيام ليست معينة من الشهر بل يختارها المؤمن من جميع الشهر ، فإذا شاء صامها في أوله ، أو في أثنائه، أو في آخره ، وإن شاء فرقها ، وإن شاء تابعها ، فالأمر واسع بحمد الله ، وإن بادر إليها وتابعها في أول الشهر كان ذلك أفضل ؛ لأن ذلك من باب المسارعة إلى الخير ، ولا تكون بذلك فرضاً عليه ، بل يجوز له تركها في أي سنة ، لكن الاستمرار على صومها هو الأفضل والأكمل ؛ لقول النبي – صلى الله عليه وسلم - : " أحب العمل إلى الله ما داوم عليه صاحبه وإن قل " والله الموفق .

[ مجموع فتاوى ومقالات متنوعة لسماحة الشيخ: عبدالعزيز بن باز – رحمه الله- الجزء 15 ص 390


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

" من صام رمضان ثم أتبعه ستًّا من شوال كان كصيام الدهر " خرجه الإمام مسلم

“Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutkannya dengan berpuasa enam hari pada bulam Syawwal bagaikan puasa setahun”. (Dikelurakan Oleh Imam Muslim). Keenam hari tersebut tidak terbatas pada hari-hari tertentu dalam bulan Syawal. Seseorang dapat memilih hari-hari apa saja di sepanjang bulan Syawal. Bila dia mau bisa pada awal bulan, pertengahan, atau akhir bulan. Bila dia mau bisa terpisah-pisah atau berturut-turut. Masalah ini luwes, alhamdulillah. 

Jika seseorang bersegera melakukannya di awal bulan dan berturut-turut, maka itu lebih afdhal. Karena hal itu termasuk sikap bergegas kepada kebaikan (al musara’ah ilal khair).
Puasa tersebut bukan merupakan kewajiban (tidak wajib). Bahkan boleh meninggalkannya pada suatu tahun tertentu. Tetapi yang lebih utama  dan lebih sempurna adalah istimrar (terus-emnerus) melakukannya setiap tahun, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dirutinkan oleh pelakunya meski sedikit”. Semoga Allah memberi taufiq. (Sumber: Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Juz 15, hlm. 390). (sym)


Puasa Enam Hari di bulan Syawal, Haruskah Berturut-turut?
Pertanyaan:

هل يلزم في صيام الست من شوال أن تكون متتابعة، أم لا بأس من صيامها متفرقة خلال الشهر؟

Haruskan puasa syawal dilakukan secara berurutan? Atau bolehkah dilakukan secara terpisah-pisah pada bulan Syawal?

Jawaban:
 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد

صيام ست من شوال سنة ثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويجوز صيامها متتابعة ومتفرقة؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم أطلق صيامها، ولم يذكر تتابعاً ولا تفريقاً، حيث قال صلى الله عليه وسلم: "من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر" أخرجه الإمام مسلم في صحيحه. وبالله التوفيق.

[مجموع فتاوى ومقالات متنوعة لسماحة الشيخ: عبد العزيز بن باز –رحمه الله– الجزء 15ص391]


Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah;
Puasa enam hari pada bulan Syawal merupakan Sunnah berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pelaksanannya boleh berurutan dan boleh pula terpisah-pisah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkannya secara mutlak. Beliau tidak menyebutkan secara berurutan dan tidak pula menyebutkan secara terpisah. Beliau hanya mengatakan, “Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutkannya dengan berpuasa enam hari pada bulam Syawwal bagaikan puasa setahun”. (Dikelurakan Oleh Imam Muslim). Semoga Allah memberi taufiq.  (Sumber: Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Juz 15, hlm. 391).  (sym)

Minggu, 17 Mei 2015

Do’a dan Dzikir Menjelang Tidur (1)

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رضي الله عنه قَالَ : ( كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَالَ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ ) رواه البخاري  


Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, bila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur beliau mengucapkan, “Bismika Allahumma Amuutu wa Ahyaa; Ya Allah, dengan namamu aku mati dan hidup”. Jika bangun tidur beliau mengucapkan, “Alhaamdulillahi alladziy ahyaanaa ba’damaa amaatanaa wa ilihin Nusyur; Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah Dia mematikan kami dan kepada-Nyalah tempat kembali”. (HR. Bukhari).

Kesimpulan dan Pelajaran:
1.    Yang dimaksud dengan mati dan hidup dalam do’a ini adalah tidur dan bangun tidur. Dalam al-Qur’an tidur disebut sebagai kematian (kecil). Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-An’ama ayat 60 dan Az-Zumar ayat 42;
﴿ وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ... ﴾ [الأنعام: 60]، 
“Dan dialah yang mematikan (menidurkan) kamu pada waktu malam dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudia Dia membangkitkan (membangunkan) kamu pada siang hari. . . “ (Qs. Al-An’am [6]:60). 
﴿ اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ﴾ [الزمر: 42].
“Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa orang yang belum mati  ketika ia tidur”.
2.    Tidur dan bangun tidur merupakan salah satu tanda kemahabesaran Allah pada diri manusia bagi mereka yang merenungkan hakikat kematian dan kehidupan.
3.    Tidur dan bangun tidur dapat mengingatkan seorang hamba akan hakikat kematian dan kehidupan. Bahwa hidup dan mati manusia berada dalam kendali Allah Ta’ala. Dialah Dzat yang menghidupkan dan mematikan siapa siapa Dia kehendaki.
4.    Tidur dan bangung tidur juga mengingatkan seorang hamba akan hari berbangkit pada hari kiamata kelak. Jika Allah kuasa menghidupkan (membangunkan)kembali setelah kematian kecil saat tidur, tentu Dia juga mampu dan kuasa membangkitkan manusia dari kuburan-kuburan mereka pada hari kiamat kelak.
5.    Do’a ini juga memberi pesan, batas antara hidup dan mati sangat tipis. Jarak keduanya sangat dekat. Saat tertidur seseorang  seakan benar-benar mati, tidak mengetahui apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Meskipun sebenarnya tidur hanya kematian kecil.
6.    Oleh karena itu sebelum tidur kita memohon kepada Allah Dzat menggenggam kehidupan dan kematian untuk  menghidupkan kita dengan baik dan jika tidur itu benar-benar menjadi kematian yang sesungguhnya, maka kita juga memohon kematian yang baik, yakni hidup dan mati di atas nama Allah. Demikian pula ketika terbangun, yang terucap dari lisan kita adalah pernytaan syukur atas kehidupan yang dikembalikan oleh Allah ke jasad kita. (Al-Faqiru Ilallah, Syamsuddin Al-Munawiy).


Hakekat dan Kedudukan Tauhid

1. Tauhid adalah tujuan Penciptaan Jin dan Manusia

Pada hakekatnya tauhid merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah Ta’ala. Sebab manusia dan jin diciptakan oleh Allah untuk men-tauhid-kan-Nya melalui ibadah.  Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadKu.” (QS. adz-Dzaariyat [51]: 56)

Makna liya’budun dalam ayat tersebut adalah liyuwahhiduun (untuk men-tauhid-kan Aku). Karena perintah Allah yang paling agung adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah. Sedangkan larangan Allah yang paling besar adalah syirik, yaitu menyembah kepada selain-Nya disamping menyembah Allah. (Al-Ushul ats-Tslatsah, hlm. 7).

Jadi, esensi dari ayat tersebut adalah tauhid. Sebab para ulama salaf menafsirkan kata Illa Liya’budun (supaya mereka beribadah kepada-Ku) dengan Illa Liyuwahhidun (supaya mereka men-tauhid-kan Aku). Karena setiap ibadah harus dikerjakan semata-mata karena Allah. Sementara pemurnian ibadah kepada Allah merupakan inti dari tauhid itu sendiri. Penafsiran ini berpijak pada tugas utama para Rasul, yaitu mengajak manusia untuk men-tauhid-kan Allah dalam ibadah. 

Oleh karena itu barangsiapa yang belum meralisasikan tauhid dalam hidupnya, maka sesungguhnya ia belum menghambakan diri kepada Allah. Ini makna sebenarnya dari firman Allah, “dan sekali-kali kalian (hai orang kafir) bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah”. (terj. Qs. Al-Kafirun:3). (Kitabut Tauhid).

2. Tauhid Merupakan Inti Dakwah para Rasul
Tauhid merupakan misi dan inti da’wah para Rasul utusan Allah. Semua Rasul diutus oleh Allah untuk mengesakan Allah melalui ibadah dan meninggalkan segala bentuk ibadah kepada selain Allah yang merupakan lawan dari tauhid. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut”. (QS. an-Nahl [16]: 36)

Dalam ayat tersebut Allah menerangkan, Dia mengutus Rasul pada setiap ummat untuk menyeru dan menda’wahi ummatnya agar beribadah kepada Allah (u’budullah) dan menjauhi thaghut. Kedua seruan ini mengandung tauhid. Artinya para Nabi dan Rasul tersebut diperintahkan oleh Allah untuk mengajak ummatnya men-tauhid-kan Allah. Sebab dalam kata u’budullah (sembahlah Allah/beribadahlah kepada Allah) terdapat ajakan untuk ber-tauhid. Sedangkan dalam kata wajtanibut Thaghut terkandung perintah untuk meninggalkan syirik yang merupakan lawan dari tauhid. Karena diantara makna thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah Ta’ala.  

Di dalam ayat tersebut juga terkandung pesan, Allah subhanahu wa ta’ala  menegakkan hujjah-Nya telah kepada setiap umat manusia, baik itu umat terdahulu maupun umat di zaman sekarang. Yaitu bahwasanya telah diutus kepada setiap mereka seorang Rasul yang seluruhnya menyeru umatnya kepada satu hal yaitu: (seruan untuk) beribadah hanya kepada Allah saja tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Di dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku”. (QS. al-Anbiyaa [21]: 25).

Ayat tersebut mengabarkan bahwa setiap Rasul mendapatkan wahyu (perintah) dari Allah untuk menyampaikan kepada ummat mereka Tidak ada Ilah (Tuhan) yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah. Oleh karena mereka diperintahkan untuk beibadah kepada Allah semata. 

3. Tauhid Merupakan Perkara Yang Pertama diperintahkan oleh Allah kepada hambaNya Sebelum Kewajiban Yang Lain
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Isra [17]: 23)
Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk bertauhid terlebih dahulu yaitu dengan berfirman: “Jangan menyembah selain Dia”. Baru setelah itu Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua kita.

Dalam klimat “La ta’budu Illa Iyyahu” (Jangan kalian beribadah kepada selain-Nya)  terkandung perintah untuk memurnikan ibadah kepada Allah Ta’ala semata. Hal ini semakna dengan kalimat tauhid La Ilaha Illallah. Sebab pemurnian ibadah hanya kepada Allah merupakan realisasi dan pembuktian dari kalimat tauhid La Ilaha Illallah.

Ayat lain yang semakna dengan ayat di atas adalah firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 151, “Katakanlah (wahai Muhammad) marilah aku bacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “janganlah kamu berbuat syirik  sedikitpun kepada-Nya”. (terj. Qs. Al-An’am:151). Ayat tersebut menyebutkan beberapa hal yang diharamkan oleh Allah. Pertama  adalah syirik yang merupakan lawan dari tauhid, bahkan perusak tauhid nomor wahid. Larangan berbuat syirik berarti perintah untuk men-tauhid-kan Allah Ta’ala.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata tentang ayat 251 surah Al-An’am di atas, “Siapa yang ingin melihat wasiat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diatasnya terstempel oleh cincin beliau, maka hendaknya ia membaca firman Allah; “Katakanlah (hai Muhammad), mari kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, dan (kubacakan), sampai . . .  Sungguh inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain”.
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (Terj. Qs. An-Nisa:36). Ayat ini disebut dengan ayat tentang sepuluh hak. Karena dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan sepuluh hal yang diawali dengan perintah beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik. Sementara beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik mer upakan realisasi dari tauhid.

4. Tauhid adalah Hak Allah atas HambaNya
Tauhid merupakan hak Allah dari setiap hamba-Nya, sebagaimana penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ketika beliau bertanya kepada sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu: ”Apakah hak Allah atas hambaNya?”, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahuinya”, jawab Mu’adz. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Hak Allah atas hambanya adalah agar mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hak Allah dari setiap hamba-Nya adalah ibadah yang tidak dinodai kesyirikan. Artinya tauhid. Karena pemurnian ibadah kepada Allah merupakan inti dari tauhid. Sehingga dalam kalimat “mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” tersurat  pesan bahwa hak Allah atas hamba dan kewajiban hamba kepada Allah adalah, “mereka men-tauhid-kan-Nya melalui ibadah”.

Demikian penjelasan tentang hakikat dan keutamaan tauhid. Semoga Allah Ta’ala memberi kemudahan untuk merealisasikannya dalam seluruh aspek kehidupan. Semoga Allah menghidupkan dan mematikan kita di atas kalimat tauhid. (Al-Faqir lla ‘afwi Rabbihi, Abu Muhammad Syamsuddin Al-Munawiy).

Sumber Utama: Kitabut Tauhid, karya al-Imam al-Mujaddid Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah disertai tambahan penjelasan dari  Ghoyatul Murid Fi Syarhi Kitabit Tauhid, Karya Syekh Shaleh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh.

Selasa, 30 Desember 2014

Himbauan Dewan Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah (DPP-WI)


Alhamdulillah alaa kulli haal, segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan dan kondisi. Shalawat dan salam atas Rasulullah ,keluarga ,para sahabat dan ummatnya yang tetap istiqamah di atas sunnahnya.
Bumi beserta segala isinya, langit yang tegak tanpa tiang , angin dan awan yg beriring, laut dan segala ombak dan gelombangnya, semua alam semesta ini sejatinya adalah makhluk dan ciptaan Allah Ta'alaa.  Semuanya tunduk dalam ketentuan dan perintah Allah Subhanahu wata'ala,
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana." – (QS.57:1)

Sehubungan dengan banyaknya bencana yang terjadi akhir- akhir ini , berupa tanah longsor, banjir , kebakaran hingga kecelakaan pesawat terbang dan lain sebagainya, patut mengundang keprihatinan dan kesadaran kita untuk muhasabah dan memohon ampunan dari Yang Maha Kuasa Allah subhanahu wata'ala.

Dan hari ini adalah hari terakhir bulan Desember 2014 M, dimana biasa kita saksikan pada malam pergantian tahun baru miladiyah dimana terjadi pesta pora dan penghamburan dana yang sangat luar biasa, bahkan tidak jarang menjadi ajang pelanggaran aturan agama dan moral.
Memperhatikan hal tersebut di atas maka sebagai wujud tanggung jawab dan keprihatinan atas situasi umat dan bangsa, Wahdah Islamiyah menghimbau seluruh komponen ummat dan bangsa  sebagai berikut:

1. Tidak melakukan perayaan tahun baru apalagi berpesta pora atau membuat ajang-ajang keramaian di tengah situasi dan suasana keprihatinan umat & bangsa saat ini.
2. Senantiasa berusaha menghindari segala macam bentuk pelanggaran agama dan moral termasuk pada malam pergantian tahun baru .
3. Kepada kaum muslimin patut diingatkan bahwa perayaan menyambut tahun baru ini tidak terlepas dari perayaan keagamaan bagi agama lain, maka hendaknya menjaga diri dan keluarga untuk tidak ikut- ikutan dalam kegiatan-kegiatan tersebut sekalipun dalam bentuk kegiatan keagamaan Islam yang diadakan diluar rumah.
Demikianlah kami menyampaikan himbauan ini dengan pehuh harap agar Allah Yang Maha Esa melindungi kita semua dari setiap marabahaya dan pelanggaran . 
Amin Ya Rabbal 'Alamin.

Jakarta 9 Rabiul  Awal 1436 H/31 Desember 2014
Dewan Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah (WI)
Muh. Zaitun Rasmin, Lc., MA

(Pimpinan Umum)


Senin, 01 Desember 2014

BAYAN DAN TAUSHIYAH MUKTAMAR I IKATAN ‘ULAMA DAN DUAT ASIA TENGGARA

Dengan nikmat dan karunia Allah SWT, deklarasi pembentukan dan muktamar pertama Ikatan Ulama dan Duat (Rabithah Ulama wa Du’at Janub Syarqi Asia) telah terlaksana dengan baik dan berlangsung dengan lancar pada hari Sabtu, 07-08 Safar 1436 H bertepatan dengan tanggal 29-30 Nopember 2014 M di Kota Depok, Jawa Barat, Indonesia.